LELAKI BIASA DENGAN CINTA YANG HEBAT
MENJELANG hari nikah, Winda masih sukar mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Setelah melihat ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sedar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.
“Kenapa?” tanya mereka di hari Winda mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Winda sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Winda bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Winda terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Winda yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Winda menyampaikan keinginan Firly untuk melamarnya. Arisan keluarga Winda dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
“Kamu pasti bercanda!”. Winda kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Winda menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Winda bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Winda yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Winda!
“Winda serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika firly memang melamarnya. “Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!” Winda tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Winda tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
“Tapi Winda tidak serius dengan Firly, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?” Winda terkesima “Kenapa?" Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Winda sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Winda memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Winda lontarkan .
“Winda Cuma mau Firly,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Firly. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat.Parah. “Tapi kenapa?” Sebab Firly cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Winda mencoba membuka matanya.
“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Winda!” Cukup! Winda menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Winda lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Firly. Barangkali karena Winda memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Firly tampak ‘luar biasa’. Winda Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Winda menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Firly. Disampingnya Winda bahagia. Mereka akhirnya menikah.
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Winda, apa sebenarnya yang dia lihat dari Firly. Jeleknya, Winda masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Firly agar tampak di mata mereka.
Winda hanya merasakan cinta begitu besar dari Firly, begitu besar hingga Winda bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Winda. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. “Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Firly pada Winda.”
Nada suara Winda tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Winda hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.”Win, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”. “Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”.Winda merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Firly.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Firly juga tidak jelek, Kak!.Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!.Tidak sepintarmu, Winda. Firly juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Winda. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Firly. Lagi-lagi percuma.
“Lihat hidupmu, Winda. Lalu lihat Firly! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”
Teganya kakak-kakak Winda mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Winda dan Firly sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Firly bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Winda lebih dari cukup untuk hidup senang.
“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Winda memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Winda cukup, maksud Winda jika digabungkan dengan gaji Abang.”
Winda tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”
Lalu dia mengelus pipi Winda dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Winda cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Winda.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Winda di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Winda besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Winda memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Winda dan Firly melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Winda, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya!.Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Winda belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Winda masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Winda mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Firly melukai hati Winda, atau membuat Winda menangis.
Bayi yang dikandung Winda tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Winda. Harus segera dikeluarkan!”.Mula-mula dokter kandungan langganan Winda memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Winda. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Firly tidak beranjak dari sisi tempat tidur Winda di rumah sakit.
Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Winda belum satu pun yang datang Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Winda tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Winda per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. “Baru pembukaan satu.”.”Belum ada perubahan, Bu.”
“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.”Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”
Winda dan Firly berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Winda baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. “Masih pembukaan dua, Pak!”
Firly tercengang. Cemas. Winda tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
“Bang?”.Firly termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. “Dokter?” .”Kita operasi, Win. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?.Firly dan Winda berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?. Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Winda berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Firly tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Winda digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Winda merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.
Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Firly bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Firly dan keluarga Winda mendekat.
“Pendarahan yang cukup besar.”.Firly membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Winda dalam kondisi kritis. Mama Winda yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Winda menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Firly seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Winda.
Sudah seminggu lebih Winda koma. Selama itu Firly bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Winda dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya.
Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Winda terkadang ikut menunggui Winda di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Winda dengan Firly.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Firly bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Firly terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Firly menjaga Winda siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Winda yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Firly percaya meskipun tidak mendengar, Winda bisa merasakan kehadirannya.
“Winda, bangun, Cinta?”
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Firly masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Winda sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Winda ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, “Winda, bangun, Cinta?”
Malam-malam penantian dilewatkan Firly dalam sujud dan permohonan. Asalkan Winda sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Winda, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Firly.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Winda. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Firly tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Winda lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Winda sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Firly terjawab. Winda sadar dan wajah penat Firly adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Firly menangis, menggenggam tangan Winda dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan air mata yang jatuh. Asalkan Winda sadar, semua tak penting lagi.
Winda membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Winda selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Winda, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Winda ke teras, melihat senja datang sambil memangku Winda seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Firly mendandani Winda agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Winda selalu merasa cantik. Meski seringkali Winda mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Firly dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Winda, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Firly.
Setiap hari Minggu Firly mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Winda. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Winda harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Firly, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Winda. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Winda sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Firly yang berkeringat mendorong kursi roda Winda ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Winda menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Winda tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
“Baik banget suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”
“Winda beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Winda makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Winda menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Winda menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Winda menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Winda.
Mereka ternyata sama herannya.
“Kenapa?” tanya mereka di hari Winda mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Winda sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Winda bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Winda terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Winda yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Winda menyampaikan keinginan Firly untuk melamarnya. Arisan keluarga Winda dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
“Kamu pasti bercanda!”. Winda kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Winda menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Winda bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Winda yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Winda!
“Winda serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika firly memang melamarnya. “Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!” Winda tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Winda tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
“Tapi Winda tidak serius dengan Firly, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?” Winda terkesima “Kenapa?" Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Winda sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Winda memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Winda lontarkan .
“Winda Cuma mau Firly,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Firly. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat.Parah. “Tapi kenapa?” Sebab Firly cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Winda mencoba membuka matanya.
“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Winda!” Cukup! Winda menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Winda lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Firly. Barangkali karena Winda memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Firly tampak ‘luar biasa’. Winda Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Winda menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Firly. Disampingnya Winda bahagia. Mereka akhirnya menikah.
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Winda, apa sebenarnya yang dia lihat dari Firly. Jeleknya, Winda masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Firly agar tampak di mata mereka.
Winda hanya merasakan cinta begitu besar dari Firly, begitu besar hingga Winda bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Winda. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. “Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Firly pada Winda.”
Nada suara Winda tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Winda hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.”Win, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”. “Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”.Winda merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Firly.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Firly juga tidak jelek, Kak!.Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!.Tidak sepintarmu, Winda. Firly juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Winda. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Firly. Lagi-lagi percuma.
“Lihat hidupmu, Winda. Lalu lihat Firly! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”
Teganya kakak-kakak Winda mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Winda dan Firly sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Firly bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Winda lebih dari cukup untuk hidup senang.
“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Winda memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Winda cukup, maksud Winda jika digabungkan dengan gaji Abang.”
Winda tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”
Lalu dia mengelus pipi Winda dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Winda cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Winda.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Winda di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Winda besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Winda memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Winda dan Firly melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Winda, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya!.Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Winda belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Winda masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Winda mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Firly melukai hati Winda, atau membuat Winda menangis.
Bayi yang dikandung Winda tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Winda. Harus segera dikeluarkan!”.Mula-mula dokter kandungan langganan Winda memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Winda. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Firly tidak beranjak dari sisi tempat tidur Winda di rumah sakit.
Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Winda belum satu pun yang datang Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Winda tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Winda per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. “Baru pembukaan satu.”.”Belum ada perubahan, Bu.”
“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.”Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”
Winda dan Firly berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Winda baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. “Masih pembukaan dua, Pak!”
Firly tercengang. Cemas. Winda tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
“Bang?”.Firly termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. “Dokter?” .”Kita operasi, Win. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?.Firly dan Winda berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?. Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Winda berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Firly tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Winda digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Winda merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.
Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Firly bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Firly dan keluarga Winda mendekat.
“Pendarahan yang cukup besar.”.Firly membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Winda dalam kondisi kritis. Mama Winda yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Winda menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Firly seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Winda.
Sudah seminggu lebih Winda koma. Selama itu Firly bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Winda dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya.
Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Winda terkadang ikut menunggui Winda di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Winda dengan Firly.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Firly bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Firly terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Firly menjaga Winda siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Winda yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Firly percaya meskipun tidak mendengar, Winda bisa merasakan kehadirannya.
“Winda, bangun, Cinta?”
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Firly masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Winda sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Winda ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, “Winda, bangun, Cinta?”
Malam-malam penantian dilewatkan Firly dalam sujud dan permohonan. Asalkan Winda sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Winda, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Firly.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Winda. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Firly tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Winda lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Winda sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Firly terjawab. Winda sadar dan wajah penat Firly adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Firly menangis, menggenggam tangan Winda dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan air mata yang jatuh. Asalkan Winda sadar, semua tak penting lagi.
Winda membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Winda selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Winda, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Winda ke teras, melihat senja datang sambil memangku Winda seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Firly mendandani Winda agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Winda selalu merasa cantik. Meski seringkali Winda mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Firly dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Winda, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Firly.
Setiap hari Minggu Firly mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Winda. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Winda harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Firly, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Winda. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Winda sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Firly yang berkeringat mendorong kursi roda Winda ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Winda menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Winda tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
“Baik banget suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”
“Winda beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Winda makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Winda menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Winda menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Winda menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Winda.
LELAKI BIASA DENGAN CINTA YANG HEBAT
Reviewed by Unknown
on
12:27 AM
Rating: